Tentang Kisah Kegelisahan Para Suci
Merasuk pada masa dalam kitab para suci
tentang risalah kegelisan. Terasa ada
namun tak ada yang bisa memahami kegundahan
: Diakah penjelas itu? Semesta cinta?
Ke mana perginya angin? Ke mana hilangnya udara?
Sungguh, asing kian mengemuka di sini. Mendekap gelap
menutup matahari dan bulan. Waktu tak segera beranjak
mengakhiri luruhnya beribu-ribu daun saat musim kemarau
adalah jawaban atas pertanyaan yang tak henti membuat
ledakan-ledakan nalar kegundahan dan hilangnya bayang-bayang
Muaralah kegelisahan
I'tikafku di goa suci adalah pencarian atas pertanyaan
Yang tak pernah kutahu apa dan bagaimana jawabannya
Kisah kegelisahan para suci
Adalah bunga di taman halaman rumah
Yang harus disiram saat pagi dan senja
Aku kian hilang
Dalam detak waktunya
Dalam sunyi
Dan shiiingg!!
" Tuan, silakan pulang!"
Jakarta, 26 Juli2010
---------------------------------------------------------------
Tafsir Cinta Para Pecinta
Masihkah kaupisahkan bunga dengan harumnya
Saat masa lalumu terus kausulam di tiap tarikan nafas
Sedangkan masa depanmu adalah cahaya seusai hujan pagi ini
Di mana rupa kebebasan yang kaudendangkan
Sementara kau masih terbelenggu oleh keriaan
—burung terbang dengan kaki terikat bandul batu
Itulah tafsir atas hakikat cintamu
: Hanya dogma kosong!
Segeralah kaupinang berlian meski tercelup lumpur
karena peradaban taklah usai kauurai tafsir-tafsirnya
atas rerupa persembunyian
pada kesatuan wujud atas penggalannya
Jakarta, Juli 2010
------------------------------------------------------------
Warna Di Mata yang Terbuka
Tak lagi kau bisa sembunyikan warna yang terpantul
lewat mata terbuka selepas percintaanmu dengan
Jibril yang tak henti menyulam partikel-partikel cahaya
yang tumpah meruah meresap dalam dada. Bukan alpha
yang menyudut atas risalah namun proses harus menapak
pada peluk semesta kausalitas. Hingga utuh hakikat dicerap.
Ma’rifatmu adalah jalan keabadian atas kehendak murni
tanpa silsilah sengketa atau sahwak sangka. Samsara. Dian
dalam diam duduk dalam damai. Huwa! Cukuplah kita
berkarib dengan bisa!
Jakarta, 21 Juni 2010
----------------------------------------------------------------------------------------
HANDOKO F ZAINSAM. Pria kelahiran di Madiun ini menjadi pengagas dan pendiri Komunitas Mata Aksara (KomMA) Jakarta. Karya-karyanya: Risalah Luka Sang Pecinta —Tahun 2000 (Prosa Liris); Antologi Puisi Bersama Sastra Jawa (2001); I’m Still A Woman —Tahun 2005 (novel); Antologi Puisi Kota Sunyi Tahajud Cinta Kunang-Kunang (2009). Kenang Sebayang Antologi Bersama Puisi Lekas (2010). Kini sedang menyelesaikan kumpulan puisinya “Ma’rifat Bunda Sunyi” dan “Kitab Negeri Hening”. Beberapa karya lain pernah dimuat di berbagai media cetak seperti; Jawa Pos, Koran Republika, Jurnal Bogor, Majalah Matra, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar